Rasanya jam dinding itu berbunyi dan membangunkanku, tapi mana pernah berbunyi.
Itukan cuma jam hadiah dari pabrik cat, jam murahan.
Tapi biar bagaimana, jam itu setiap pagi seperti mengingatkan aku bahwa
ini sudah hari yang baru.
Perut rasanya masih mules, mungkin karena nasi uduk tadi malam,
kebanyakan sambal kacang.
Dengan malas aku menuruni tangga kamarku dan mengambil handuk.
Membaca koran sambil buang air besar, sementara kopi panas telah
menunggu di meja makan.
Hari ini sama lagi seperti hari kemarin. Waktu waktu yang berlalu untuk
menghabiskan kopi dan membuangnya kembali dalam bentuk lain.
Dan tiba tiba aku bertemu dengannya. Seorang penari telanjang mati
terbunuh!. Hmmm.. dan hebatnya satu detik sebelum ajal menjelang ia
masih mempertanyakan kenapa ia harus dibunuh dan siapa yang hendak
membunuhnya.
Dari hasil wawancaraku dengan arwahnya, saat itu ia merasa tenang
sekali, setenang danau.
Jernih, sejernih orang bertapa. Mati atau hidup tak penting baginya.
Kalau toh ada yang disesalkan, itu hanyalah semacam humor. Kenapa
adegan kematiannya tidak begitu mencengangkan, tidak ada kejar kejaran yang
seru, tidak ada perlawanan sengit, tidak ada surprise, tidak ada yang
istimewa.
Ia masih bertanya (sungguhpun ia sudah menjadi arwah), siapakah yang
membunuhnya? Sampai detik ini ia masih bertanya sambil melihat tubuhnya
yang mulai dipotong potong oleh pembunuh tanpa muka itu.
Memasukkan potongan potongan dirinya ke dalam tas plastik.
Lantas membuangnya ke tong sampah.
Sepagi ini, seorang penari telanjang mati terpotong-potong.
tidak ada surprise.
katanya terakhir kali, "Kematian itu tidak ngeri kok, kira kira
hanyalah pintu ke kehidupan lain. Kematian itu biasa saja, sekali lagi, bi-a-sa"
Bahkan kopi panas di mejaku lebih menarik.
k-
No comments:
Post a Comment